close

Silahkan kunjungi website program-program mulia kami, klik tombol dibawah ini

www.rumahyatimindonesia.org


Telp. 0265-2351868 | WA 0878 8555 4556

Monday 20 May 2019

Kisah Sedekah Di Bulan Ramadhan










Sebut saja namanya Pak Dain. Beliau termasuk pemangku jabatan pengayom dan pengayem masyarakat di wilayahku. Tapi bukan PNS, bukan pula pegawai honorer. Jabatan yang beliau emban benar-benar murni pengabdian kepada masyarakat. Masyarakatlah yang memilihnya untuk didaulat sebagai tempat bersandar dan berkeluh kesah manakala ada masalah.

Namun, sore itu aku benar-benar dibuat tersentak oleh penuturan beliau. Ternyata, saat warga berkeluh kesah kepadanya tentang beragam masalah, sejatinya ada bertumpuk masalah pribadi beliau yang justru lebih berat. Namun, beliau mencoba tetap tegar, tersenyum, dan bijak membantu menyelesaikan masalah warga.

“Serapat-rapatnya saya menyembunyikan masalah pribadi, ternyata tetap saja ada titik kulminasi ketidaksanggupan saya untuk menahan beban itu sendirian, Pak,” kesah beliau kepadaku sore itu. “Saya sudah curhat kepada Tuhan, tetapi sebagai manusia biasa rasanya belum plong jika belum curhat pula kepada sesama manusia.”

“Memangnya ada apa, Pak, sepertinya kok penting banget?” tanyaku kepada beliau.

“Sudah sangat lama sumber pencaharian saya macet, Pak. Namun, saya mencoba tetap bersabar sambil terus berusaha mencari rezeki sedapatnya. Yach, sekadar untuk makan saya dan keluarga dalam sehari. Namun, hari ini saya benar-benar kepepet. Ada kebutuhan yang sangat mendesak, sementara saya tidak mempunyai uang serupiah pun,” tuturnya dengan wajah yang tidak lagi menyisakan senyum.

Sungguh, penuturan yang di luar dugaan. Seketika saya tercekat dibuatnya. Pasalnya, setiap kali bersua beliau, tak sekalipun beliau berbicara tentang diri sendiri. Selalu saja yang beliau bincangkan adalah tentang masyarakat, umat, dan orang banyak. Namun, kali ini, beliau benar-benar terdesak sehingga terpaksa berbicara tentang masalah pribadinya.

“Apa yang bisa saya bantu, Pak?”

“Sebelumnya saya minta maaf, saya boleh pinjam uang Pak Irham? Sekali lagi saya mohon maaf, saya benar-benar kepepet,” ujarnya.

“Pak Dain tidak perlu meminta maaf. Sebagai sesama manusia kita kan memang ditakdirkan untuk saling menolong. Jika saya bisa dan mampu, tentu akan saya bantu. Berapa yang Bapak butuhkan?”

“Dua ratus ribu rupiah,” jawab Pak Dain singkat.

Seketika hati saya teriris. Bagaimana tidak, saat para warga berlomba menghamburkan uang untuk hal-hal yang bukan primer, ternyata tokoh pengayom dan pengayem mereka justru sedang terimpit masalah keuangan dasar yang teramat akut. Bahkan, semakin teriris sakit manakala mengingat beberapa hari sebelumnya beliau menyalamiku sambil berucap lirih, “Ini ada sedikit uang untuk Pak Irham sebagaibisyarah.”

Lohbisyarah apa ini?” ucapku saat itu, sembari menepis tangan Pak Dain yang hendak menyelipkan selembar amplop ke dalam saku bajuku.

“Ini tanda terima kasih saya dan para wali santri karena Pak Irham telah merelakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk ngajari anak-anak kami mengaji.”

Demi melegakan hati dan tidak mengecewakan mereka, aku terima amplop itu. Entah berapa isinya, aku tidak tahu. Karena, sedari dulu aku memang diajari oleh almarhumal-Walid (bapak saya) untuk tidak melihat isi amplop dari siapa pun.

“Masukkan ke dalam lemari tanpa perlu kaulihat isinya!” pesan beliau saat itu. “Atau berikan kepada orang lain yang membutuhkan; istrimu, tetanggamu, atau siapa saja yang layak kauberi.”

Pak Dain masih duduk tertunduk di hadapanku.

“Sebentar, saya tanya istri saya dulu, ya, Pak. Soalnya, istri saya yang lebih tahu tentang kondisi keuangan kami, sebab dialah yang kebagian tugas memegang dan mengelola semua uang. Ibaratnya, bendahara rumah tangga,” jawabku sambil tersenyum kecil.

Aku segera undur diri dari hapadan Pak Dain. Aku temui istriku yang tengah sibuk di dapur.

“Masih ada uang, istriku?” tanyaku. “Itu Pak Dain sedang butuh bantuan kita.”

“Sebentar, saya lihat dulu, ya, Mas. Soalnya pengeluaran kemarin cukup banyak,” sahut istriku sambil berlalu menuju tempat ia menyimpan uang.

“Ini, Mas, tinggal ini,” ujar istriku seraya mengulurkan amplop kecil berwarna putih kepadaku. “Kalau tidak salah, ini amplop pemberian Pak Dain beberapa hari lalu,” imbuhnya.

Kami lalu membuka amplop tersebut. Ternyata isinya dua ratus lima puluh ribu rupiah.

“Ya, sudah, yang dua ratus ribu kasihkan Pak Dain, Mas,” kata istriku, mantap. Saya cukup lima puluh ribu saja. InsyaAllah, Allah akan menggantinya pada waktu yang lain.

Satu hal yang sampai detik ini masih menyesaki pikiranku, bagaimana harus membantu menstabilkan perekonomian Pak Dain, sehingga beliau benar-benar total dalam mengabdi kepada masyarakat, umat, dan orang banyak. Bahkan, sekelebatan muncul pula pikiran buruk, “Apa jadinya jika suatu ketika Pak Dain, sosok yang dituakan di wilayah kami, tidak kuat menanggung beban hidupnya lalu mengambil jalan pintas dengan melakukan kejahatan untuk mendapatkan uang?”

Ah, itu hanya kekhawatiranku yang berlebihan dan tidak beralasan! Andai aku dan seluruh warga berpadu membantunya, pastilah kekhawatiran burukku itu tidak akan muncul.

Ibnu Abbas berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَجْوَدَ النَّاسِ، وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ، وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ، فََرَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ


“Sesungguhnya Rasulullah saw adalah orang yang paling dermawan, dan kedermawaan beliau akan bertambah pada bulan Ramadhan ketika bertemu dengan Jibril. Beliau bertemu dengan Jibril setiap malam Ramadhan untuk mempelajari Al-Qur'an, dan  Rasulullah saw lebih dermawan dari angin yang bertiup kencang.” (HR. Bukhari)

Dalam suatu hadits, Rasulullah Saw bersabda,

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ

“Tidak berkurang harta yang disedekahkan, dan Allah tidak akan menambahkan kepada seseorang yang suka memaafkan melainkan kemuliaan, dan tidaklah seseorang bertawadhu (berendah hati) karena Allah melainkan Allah akan mengangkat derajat orang tersebut.” (HR. Muslim)