close

Silahkan kunjungi website program-program mulia kami, klik tombol dibawah ini

www.rumahyatimindonesia.org


Telp. 0265-2351868 | WA 0878 8555 4556

Saturday 2 June 2018

Penawar Dosa Saat Bulan Ramadhan





Hawa nafsu adalah salah satu hal yang dilatih agar bisa dikendalikan melalui puasa Ramadhan. Islam sesungguhnya telah memudahkan, karena pelarangannya hanya pada siang hari sejak terbit fajar hingga tenggelamnya matahari. Selain di waktu itu, diperbolehkan. Tapi nyatanya, tidak semua orang dapat mengendalikan diri. Bahkan pernah terjadi di zaman Nabi.
Suatu hari, para sahabat sedang duduk-duduk di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tiba-tiba datanglah seorang laki-laki menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
“Wahai Rasulullah, celaka aku,” kata orang itu dengan suara yang cukup keras hingga didengar para sahabat.
“Apa yang terjadi padamu?” tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
“Aku menjima’ istriku di siang hari, padahal aku sedang puasa” tuturnya dengan nada takut.
“Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat kau merdekakan?” tanya Rasulullah. Memerdekakan budak merupakan kafarah bagi orang yang berhubungan suami istri di siang hari pada bulan Ramadhan.
“Kami tidak punya ya Rasulullah”
“Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Ini merupakan kafarah level kedua. Jika orang yang berhubungan di siang hari pada bulan Ramadhan tidak mampu memerdekakan budak, maka ia diwajibkan puasa dua bulan berturut-turut.
“Tidak,” jawab orang tersebut. Logikanya, untuk Ramadhan yang hanya satu bulan saja ia tidak kuat menahan syahwat, bagaimana jadinya jika ia berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Ia keberatan dan yakin tidak dapat menunaikannya.
“Apakah engkau bisa memberi makan kepada 60 orang miskin?” Ini merupakan kafarah level ketiga. Jika orang yang berhubungan di siang hari pada bulan Ramadhan tidak mampu memerdekakan budak, juga tidak mampu menunaikan puasa selama dua bulan berturut-turut, maka ia diwajibkan memberi makan 60 fakir miskin. Mirip seperti fidyah pengganti atas puasa dua bulan berturut-turut tersebut.
“Tidak mampu ya Rasulullah,” lagi-lagi demikian jawaban laki-laki itu. Ketika mengisahkan kisah yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya ini, KH Zainuddin MZ berkomentar: rupanya laki-laki ini miskin, tapi ia ‘belagu’. Berani melanggar larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang kafaratnya sangat berat.
Mendengar jawaban tidak tidak tidak itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diam sejenak. Dalam kondisi itu, datanglah seseorang yang memberi hadiah kepada Rasulullah berupa satu wadah kurma.
“Di mana orang yang bertanya tadi?” tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
“Ya, aku ya Rasulullah,” jawab laki-laki itu yang masih menunggu keputusan Rasulullah.
“Ambillah kurma ini dan bersedekahlah dengannya” sabda Nabi sambil menyerahkan kurma tersebut.
“Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku.” Benar kata KH Zainuddin MZ, ternyata laki-laki tersebut paling miskin di daerahnya.
Mendengar itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tertawa hingga gigi taring beliau kelihatan. “Kalau begitu, berikanlah kurma ini pada keluargamu.”
Masya Allah… Demikianlah keadilan Islam, demikianlah kebijaksanaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah tidak serta merta memerintahkan laki-laki tersebut memerdekakan budak, tetapi bertanya dulu untuk mengetahui kemampuannya. Rasulullah juga tidak marah meskipun laki-laki tersebut melanggar larangan Allah. Islam benar-benar indah. “Laa yukallifullahu nafsan illa wus’ahaa”
Siapa yang mengatakan Islam itu sulit, sesungguhnya ia telah keliru. Siapa yang mengatakan syariat Islam itu keras dan kejam, sungguh ia telah keliru.
Laki-laki tersebut juga menjadi contoh salah satu kemuliaan zaman sahabat. Ia menghadap Rasulullah untuk meminta solusi atas masalahnya. Ia tahu ia bersalah, namun ketakutannya akan kesalahan dan harapannya atas taubat menjadikan ia begitu mulia.
Sungguh indah kalimat Yahya bin Mu’adz Ar Razi rahimahullah: “Dosa yang aku pinta ampunan-Nya lebih aku sukai daripada ketaatan yang aku bangga-banggakan”
Wallahu a’lam bish shawab.