close

Silahkan kunjungi website program-program mulia kami, klik tombol dibawah ini

www.rumahyatimindonesia.org


Telp. 0265-2351868 | WA 0878 8555 4556

Tuesday 23 May 2017

Andai Pahala Di Tampakkan





Suatu hari, seorang ibu setengah baya sedang dilanda kelaparan, ia berusaha meminta bantuan kepada orang lain untuk mendapatkan kemurahan hatinya. Seharian ia berjalan, berpuluh orang telah dijumpainya. Jawaban yang di dapatkannya adalah sama, tak ada seorang pun yang memedulikan nasibnya.

Cemoohan dan cacian sering ia dapatkan sebagai jawaban dari mereka. Mulai dari yang menolak secara halus sampai dengan yang kasar telah diterima oleh Inah, ibu setengah baya yang sedang kelaparan. “maaf bu, saya nggak punya nasi…”

“wah, kalau pingin makan ya kerja sana, jangan minta-minta…”

“ayo, pergi sana. Jangan ganggu kami yang sedang bekerja…”

Dan masih banyak jawaban-jawaban yang cukup menyakitkan hati bu Inah. Tetapi rupanya bu Inah ‘pantang menyerah’ ia terus berjalan mencari seseorang yang mau membantunya untuk memberi sebungkus atau sepiring nasi untuk mengisi perutnya. Bu Inah sudah tidak bisa menahan rasa lapar nya, sampai-sampai ia jatuh terduduk di pinggiran sebuah toko. Bu Inah meringis menahan rasa lapar.di peganginya perutnya yang terasa sakit.

Sementara itu banyak sekali orang yang lalu lalang di depannya. Tetapi tetap saja tak ada seorangpun menaruh rasa iba kepadanya. Malam itu dilalui bu Inah dengan penuh rasa derita. Perut yang begitu lapar tidak bisa ia ajak untuk memejamkan mata. Malam terasa begitu lama baginya. Dingin, lapar, haus mewarnai tubuh yang rebah lunglai di trotoar kotor. Harapan untuk mendapatkan sebungkus nasi untuk mengisi perut tidak ia dapatkan sama sekali hari itu. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali bu Inah kembali berjalan menyusuri lorong kecil dan jalan besar untuk mendapatkan sebungkus nasi bagi perutnya yang semakin tak tertahankan.

Pagi,.. siang,.. tak ia jumpai seorangpun yang mau menolong dirinya. Bahka jawaban dari mereka sangat menyakitkan hati. Saat hari sudah menjelang sore, bu Inah hampir putus asa. Dari kejauhan tampak seorang wanita muda yang sedang menggendong anak berusia enam bulan. Baju ibu muda itu begitu kotor, demikian juga pakaian yang dikenakan oleh anak yang digendong nya. Ibu Inah mendatangi wanita muda itu. Dengan terbata menahan rasa lapar ibu Inah memohon kepada wanita tersebut. “bu, tolong bu, saya sudah dua hari ini tidak makan. Saya lapar sekali …adakah sebungkus nasi untuk mengisi perut saya?”

Dengan agak heran ibu muda itu bertanya : “mengapa nggak beli saja bu, kan banyak di warung-warung kecil makanan yang murah-murah..” katanya. “ saya tidak punya uang bu .…” kata bu Inah.
Dipandanginya seluruh tubuh bu Inah oleh ibu muda ini, tak luput ia juga memandang anak yang berada dalam pelukannya. Tanpa terasa mata ibu muda ini tampak berkaca-kaca. Kemudian pandangannya menebar ke sekeliling tempat ia berdiri. Selanjutnya ia berjalan menuju sebuah warung kecil yang kebetulan berada tidak jauh dari dirinya. Ia membeli sebungkus nasi dengan uang kertas ribuan yang lusuh dan beberapa uang receh yang ada di genggamannya. Setelah ia dapatkan sebungkus nasi, maka dengan hati penuh iba ia serahkan nasi bungkus tersebut kepada ibu Inah yang menurut pengakuannya sudah dua hari tidak makan.

Tanpa menunggu lama, disantapnya nasi bungkus tersebut dengan lahap oleh ibu Inah. Wanita muda itu melihat ibu Inah dengan hati penuh rasa gembira. Pandangan matanya menunjukkan bahwa hatinya sangat bahagia karena mampu memberi sesuatu yang sedang dibutuhkan oleh orang yang sedang membutuhkan pertolongannya. Bahkan tanpa di minta oleh ibu Inah, wanita muda itu kembali ke warung tempat ia membeli nasi, kemudian ia tampak kembali ke tempat bu Inah sambil membawa segelas teh hangat.

Sambil minum teh hangat bu Inah memandang penuh kagum terhadap wanita muda yang menggendong anaknya itu. Setelah bu Inah selesai makan dan minum dengan lahap, dua orang tersebut terlibat dalam pembicaraan cukup menarik bagi siapa saja yang mendengarnya.

“…ibu siapa, dan dari mana, kok tampaknya bukan orang daerah sini?” kata wanita muda itu. “iya bu, nama saya Inah. Saya memang bukan penduduk sini, terus ibu ini siapa…? Apa pekerjaan ibu? 

Mengapa anak ibu yang kecil ini tidak ditinggal saja di rumah?” Tanya bu Inah.

“nama saya sumarni, pekerjaan saya pemulung bu…! Lebih baik anak saya dibawa saja, soalnya dirumah juga tidak ada yang menungguinya…” kata sumarni sambil menyeka keringat yang ada di keningnya. “mengapa ibu mau menolong saya?” kembali ibu Inah bertanya kepada sumarni.

“ah, sudahlah bu jangan dipersoalkan. Kebetulan saya ada uang sedikit yang cukup untuk membeli sebungkus nasi, sekadar menutup rasa lapar ibu” jawab sumarni singkat.

“baiklah bu, terima kasih atas pertolongan ibu…” jawab bu Inah singkat sambil berlalu meninggalkan sumarni yang masih memandangnya dengan penuh rasa iba.

Setelah sejenak memandang kearah anak kecil yang ada di gendongannya, sumarni berjalan perlahan untu meneruskan ‘pekerjaanya’ menyusuri kota Jakarta. Tak lama sumarni berjalan, tiba-tiba ia dihentikan oleh seorang wanita muda.

“bu,sebentar bu,…!” kata wanita muda itu

“ada apa mbak…?” jawab sumarni

“ tadi saya lihat ibu membelikan makan dan minum untuk ibu setengah baya, siapa ibu tadi?”

“oh,yang barusan tadi? Saya juga tidak tau .” kata sumarni.

“mengapa ibu mau menolongnya..? kan ibu juga perlu untuk membeli makanan untuk anak ibu”balas wanita muda itu.

“ah, ndak apa-apalah ! kasihan, dia sudah dua hari tidak makan. Kebetulan saya ada uang yang cukup untuk membeli nasi bungkus dan segelas teh. Mudah-mudahan nanti ada rezeki lagi buat anak saya…” katanya, sambil ia membetulkan posisi gendongan anaknya.

“baiklah bu. Oh ya, nama ibu siapa?” kembali wanita muda tersebut bertanya. “nama saya sumarni mbak..” jawab sumarni singkat.

“bu, karena ibu telah menolong orang lain yang sedang kelaparan, meskipun ibu juga sedang membutuhkan sesuap nasi untuk diri ibu dan anak ibu, maka terimalah ini sekedar rezeki buat ibu dan anak ibu…” kata wanita muda itu sambil mengeluarkan uang lima puluh ribuan yang cukup banyak dari tas hitamnya.

Sumarni terbelalak, memandang uang tersebut, ia tidak bisa berkata apa-apa. Terasa tersendat mulutnya untuk bicara.

“apa,..apa.. mbak..?! katanya agak tergagap. Sambil tersenyum, wanita muda itu mengulurkan tangannya kearah Sumarni sambil memberikan uang tersebut. “Terimalah…” katanya.

Maka meledaklah tangis Sumarni. Dirangkulnya rapat-rapat wanita itu. Cukup lama Sumarni menangis dipelukan wanita muda itu.

“Terimakasih, terima kasih… mbak…. ?! ya Allah… terima kasih…” Sumarnipun langsung tersungkur Sujud bersama anak yang ada dalam gendongannya, " Ya Allah....Maha benar Engakau ya Allah....betapa Janjimu tak pernah Engkau ingkari, ampuni aku Ya Allah....aku seringkali melupakanMU karena kesibukan Duniaku............ ", Hanya itu kalimat yang bisa diucapkan Sumarni sambil terus menangis dalam sujud syukurnya disamping wanita muda itu.

Sahabat Semua yang di sayang Allah SWT, kisah nyata diatas diangakat dalam sebuah acara “reality show”, di salah satu satu stasiun televisi swasta Indonesia. Ternyata dalam waktu dua hari, telah lebih dari SERATUS TIGA PULUH orang yang dimintai tolong oleh Bu Inah untuk menolong dirinya yang sedang ‘kelaparan’. Akhirnya Bu Sumarni-lah yang ‘terpilih’ secara alami karena ia menolong dengan penuh keikhlasan hati.

Apa yang terjadi ketika kita menonton acara ini, disetiap rumah termasuk di rumah kita, para penonton akan mengecam orang-orang yang tidak mau menolong Bu Inah. Ada yang mengatakan ‘wah sayang ya, ia tidak mau menolong…, wah bodoh sekali ya, ia tidak mau menolong Bu Inah…. Padahal yang menolong akan mendapat rezeki besar, kenapa nggak mau menolong’… dsb… dsb.

Termasuk juga anak-anak kita, ketika menonton adegan tersebut, mereka saling memberi komentar, kenapa banyak orang yang tidak mau menolongnya. Padahal satu bungkus nasi akan diganti oleh jutaan rupiah, yang nilainya mungkin lebih dari ‘seribu kali lipat’ dari harga nasi satu bungkus.

Sahabat Semua yang diberkahi Allah SWT, itulah indahnya perilaku dalam kehidupan. Sebuah keikhlasan hati akan mempunyai nilai yang sangat tinggi.”

“ Mengapa Bu Sumarni mendapat hadiah yang sangat besar ?“ karena ia melakukan tanpa pamrih. Ia lakukan karena di hatinya muncul rasa peduli yang sangat dalam terhadap sesama karena ia juga pernah merasakan penderitaan yang di alami bu Inah. Tidak ada sedikit pun di dalam hatinya, ketika memberi, ia berangan-angan untuk mendapatkan yang lebih banyak!”

Perasaan tulus secara spontan itulah nilai Bu Sumarni. Ia melakukan tindakan nyata dengan keikhlasan hati tanpa ingin dipuji tanpa berharap mendapat balasan . Itulah keistimewaannya… maka iapun mendapatkan suatu balasan yang jauh lebih besar tanpa diduga sebelumnya…”

Kejadian tersebut adalah suatu kejadian dari sebuah setting acara yang memberi motivasi kepada pemirsa agar selalu berbuat baik tanpa pamrih. Pasti akan mendapat balasan yang jauh lebih besar jika seseorang melakukan dengan sebuah keikhlasan hati tanpa ingin dipuji.

Kalaulah kejadian itu hanyalah sebuah ‘rekayasa’ hebat dari sang pencetus ide dan sang sutradara, maka bagaimana dengan kondisi kita yang hidup dalam ‘Reality Show’ sesungguhnya ini ? Dunia malaikat seluruhnya totalitas ‘menonton’ setiap perilaku kita. Mereka para Malaikat juga menyayangkan sikap kita yang acuh tak acuh jika ada orang lain minta pertolongan. Karena ditangan mereka ada amanah yang sangat besar dari Allah untuk mencatat sekaligus memberi balasan yang sangat istimewa, tetapi sayangnya kita tak memedulikan bahkan kadang tidak yakin akan adanya balasan itu.

Seluruh kita manusia di atas bumi ini sedang melakukan kehidupan nyata. Setiap perbuatan kita selalu dilihat oleh Sang Pencipta dan menyuruh Malaikat utusanNYA membawakan hadiah-hadiah (pahala) yang diminta ataupun yang tidak diminta oleh kita yang melakukan kebajikan dan amal shaleh dengan penuh ketulusan dan kepatuhan terhadap semua aturan hidup yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT. . Setiap gerak hati selalu dipantau oleh sang Penulis scenario kehidupan. Sekecil apapun perbuatan yang kita lakukan pasti akan mendapat balasan. itulah kisah seorang Bu Sumarni, bagaimana dengan kita ?