close

Silahkan kunjungi website program-program mulia kami, klik tombol dibawah ini

www.rumahyatimindonesia.org


Telp. 0265-2351868 | WA 0878 8555 4556

Thursday 16 March 2017

Kisah Hidup Sang Pemalas






Pada jaman dahulu kala, dikisahkan hidup seorang pemalas yang tidak pernah cekatan dalam melakukan pekerjaannya dan selalu menunda-nunda pekerjaannya. Bahkan untuk melakukan pekerjaan yang sangat sederhana dan sangat mudah pun, ia selalu berusaha menangguhkannya. Dalam hati ia berkata, "Ah, gampang, nanti-nanti juga bisa, waktu masih panjang."
Hal-hal kecil semacam itu akhirnya terbengkalai dan sampai menumpuk, hingga menjadi masalah besar. Di sebelah rumah orang pemalas itu, tumbuh sebuah pohon kecil yang tangkainya penuh duri tajam. Pohon yang tidak memiliki buah dan tidak memiliki keistimewaan apapun kecuali durinya itu, cukup mengggangu, mengingat setiap hari selalu ada pejalan kaki yang terkena durinya.
Banyak baju pejalan kaki yang robek dan rusak terkena duri pohon kecil itu. Mereka setiap hari mengingatkan sang pemalas itu untuk mengurus pohon itu atau menebangnya. Si pemalas itu menjawab, "Tentu, saya akan segera menebangnya." Namun, keesokan harinya, pohon itu masih berada pada tempatnya, dan kembali para pejalan kaki mengingatkan si pemalas itu. Jawaban darinya tetap sama bahwa ia akan segera menebangnya.
Hari, pekan, dan bulan-bulan berlalu, pohon kecil itu tumbuh semakin besar dan semakin kuat. Duri pohon itu semakin banyak dan lebih kuat. Adapun si pemalas itu semakin hari semakin malas. Menebang pohon berduri yang telah tumbuh besar itu memerlukan kekuatan dan tenaga banyak yang jelas di luar kemampuan si pemalas itu.
Pada akhirnya warga geram dan memperingatkan si pemalas itu bahwa jika pohon itu tidak segera ditebang maka warga akan mengadukannya kepada pengadilan. Si pemalas tetap malas dan tidak berbuat apa-apa. Akhirnya warga pun mengadukan si pemalas itu ke pengadilan. Ia pun dipanggil untuk menjawab pertanyaan di pengadilan.
Hakim bertanya, "Wahai orang yang terkenal pemalas, mengapa kau tidak menebang pohon di samping rumahmu itu? Apakah kau tidak tahu bahwa ulahmu telah mengganggu warga? Apakah kau tidak tahu betapa banyak pakaian pejalan kaki yang telah rusak dan terkoyak akibat pohon di samping rumahmu? Mengapa kau tidak memperhatikan keluhan masyarakat dan tidak segera menebang pohon itu?"
Si pemalas itu menjawab, "Saya sudah katakan kepada mereka bahwa saya akan segera menebangnya."
Hakim kembali bertanya, "Akan tetapi warga menyatakan bahwa mereka telah lama mengingatkan hal ini kepadamu, namun kau selalu menunda. Sedemikian lama kau menundanya hingga pohon kecil itu kini telah tumbuh besar."
Si pemalas itu menjawab, "Baik tuan hakim, aku akan menebangnya besok."
Hakim berkata, "Janganlah kau bermalas-malasan? Mengapa harus besok? Kerjakan hari ini juga sehingga masyarakat merasa nyaman. Aku ingin memberimu nasehat, jangan kau tunda pekerjaan sehari-harimu. Dengarkanlah nasehatku dan jangan kau tunda pekerjaan kecil atau besar. Maka pergilah kau sekarang dan tebanglah pohon itu sekarang juga."
Beberapa orang yang mengadukan pemalas itu ke pengadilan, mengolok-oloknya. Salah satu di antara mereka berkata, "Orang ini, sejauh yang aku ketahui, ia tidak akan pernah berubah. Ia tidak akan mampu menebang pohon itu sendirian. Sepertinya kita harus membantunya, agar masyarakat tenang."
Si pemalas itu tersinggung mendengar ucapan itu dan berkata, "Jika kau menilaiku seperti itu, maka sekarang juga aku akan pulang menebang pohon itu sendirian."
Si pemalas itu bergegas menuju rumahnya dan mengambil kapaknya. Beberapa pukulan kapak diayunkannya ke batang pohon itu. Alangkah terkejutnya ia, pohon itu seakan terbuat dari besi, ia hanya dapat mencuil sedikit dari batangnya. Si pemalas itu ingin membuktikan bahwa ia mampu melakukannya sendirian, akhirnya ia berusaha keras menebangnya. Keringat bercucuran deras, dan setelah beberapa lama dan dengan menguras banyak tenaga, si pemalas itu akhirnya berhasil menebang pohon itu.
Setelah itu, ia duduk sejenak dengan nafas terengah-engah. Di depan matanya, batang pohon itu telah tumbang, akan tetapi hatinya belum tenang, karena ia masih harus mencabut akar pohon itu. Wajah pemalas itu pun tampak pucat, karena ia tahu berikutnya, akan lebih susah daripada menebang pohon itu. Sementara ia sudah tidak punya tenaga lagi untuk mencabut akar pohon itu.
Dalam hatinya ia berkata, "Betapa malasnya aku, jika sejak lama aku tebang pohon itu, hanya beberapa kali pukulan aku tentu dapat merobohkan pohon itu. Andai saja aku mendengarkan peringatan warga, tentu aku tidak perlu kelelahan seperti sekarang ini."
Si pemalas itu mengutuk dirinya karena kemalasannya telah membuatnya sengsara sekarang. Ia berjanji tidak akan mengulangi kemalasannya.
Setelah sejenak beristirahat menghapus peluh, dengan tubuh lemas, ia berusaha bangkit untuk kembali menyelesaikan tugasnya mengangkat akar pohon itu. Dengan menggunakan sisa tenaga yang dimilikinya ia mulai menggali tanah.
Saat itulah beberapa tetangganya datang membawa cangkul. Salah satu tetangganya berkata, "Kau telah menebang pohon itu, dan kami akan membantumu mencabut akarnya. Lebih baik kau beristirahat."
Saat itu, si pemalas itu duduk dan dalam hati ia berterima kasih kepada tetangganya dan ia bersumpahtidak akan bermalas-malasan lagi.